0 13 min 2 yrs

Oleh : RM Karunia Romadhoni S.E.,Ak.,CA.,ASEAN CPA.,CIE
(Akuntan Terdaftar di Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan
Saat Ini Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang)

PENDAHULUAN
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi menetapkan skema perhitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan menggunakan tarif efektif rata-rata (TER) yang berlaku mulai 1 Januari. Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam perhitungan pemotongan PPh 21 bagi wajib pajak (WP).

Formula baru itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan PPh 21 Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Jasa, Atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Selain itu pemerintah juga baru saja merilis aturan teknisnya lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 168 Tahun 2023.
Adapun penggunaan tarif efektif PPh 21 bagi pegawai tetap hanya digunakan dalam melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak Januari-November dengan hanya mengalikan penghasilan bruto sebulan dengan tarif efektif bulanan.

Nah, pada masa Desember akan dilakukan perhitungan yang sama dengan sebelumnya atau tetap menggunakan tarif Pasal 17 huruf a UU PPh.
Bagi karyawan tentu harus mengetahui aturan ini secara detail lantaran ada kemungkinan pajak yang dipotong di Januari-November terlihat kecil, namun di masa Desember melonjak lebih tinggi atau sebaliknya.

Ada kemungkinan pemotongan pajak di Masa Desember lebih besar dibandingkan masa Januari-November, bahkan bisa mengakibatkan lebih bayar.

Menurut Lani Dharmasetya, Kepala Departemen Litbang dan Fokus Group Discussion Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), sebagaimana dikutip dari laman nasional.kontan.co.id tanggal 12 Januari 2024 dijelaskan tantangan bagi perusahaan karena bila lebih dipotong, maka perusahaan akan harus membayari kelebihan potong kepada karyawan.

Sebaliknya bila kurang dipotong, maka harus menanggung beban pemotongan pajak.

Meskipun demikian menjelang Idul Fitri banyak karyawan memerlukan pengeluaran cukup besar. Oleh karena itu, komunikasi antara perusahaan dan karyawan perlu dilakukan secara jelas agar karyawan tidak kaget bila ada kurang bayar pada akhir Desember dengan jumlah yang besar.

Menghindari karyawan yang sudah gembira dengan sedikit kenaikan take home pay Januari-November, malah kaget ketika Desember dipotong sekaligus untuk kekurangan potong selama Januari-November.

Sementara bagi karyawan, bila terjadi kurang bayar di Desember, maka ini akan menjadi beban karyawan lantaran penghasilan yang dibawa ke rumah alias take home pay bisa menjadi lebih kecil.

Apalagi jika perusahaan tersebut tidak memberikan tunjangan hari raya (THR) maupun bonus.

Dasar hukum skema penghitungan PPh 21 terbaru ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) s.t.d.t.d. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang menyebutkan bahwa: “ Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.”

“Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.”

Kemudian pemerintah menerbitkan regulasi teknis sebagai aturan pelaksana dari PP 58/2023 melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Orang Pribadi.

Maka skema penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 terbaru berdasarkan penerima dan jumlah penghasilan yang dikenakan pajak.

Perubahan Regulasi PPh 21 terbaru
pemerintah telah mengatur kembali pemotongan PPh 21 yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa atau Kegiatan WP Orang Pribadi.

Melalui beleid ini, skema tarif pemotongan PPh Pasal 21 ada 2 yakni:

1. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh,
Skema tarif progresif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh ini untuk menghitung PPh 21 setahun di masa pajak terakhir.

2. Tarif efektif rata-rata (TER) pemotongan PPh Pasal 21
skema tarif efektif rata-rata PPh 21 ini untuk menghitung pajak penghasilan Pasal 21 di masa pajak selain masa pajak terakhir atau secara bulanan dan harian.

PERUBAHAN SKEMA HITUNG
Skema perhitungan PPh Pasal 21 terbaru atau skema To Be adalah dengan mendasarkan pada subjek penerima dari jenis penghasilannya dan penerapan waktu perhitungan pajaknya.

Pokok perubahan skema perhitungan PPh 21 di antaranya:

1. Perubahan Seluruh Skema Penghitungan PPh 21
Skema perhitungan PPh Pasal 21 yang dipotong untuk pegawai tetap (untuk masa pajak selain masa pajak terakhir) dan pegawai tidak tetap telah diubah.

2. Perluasan Lingkup Penghitungan PPh 21.
Memperluas lingkup penghitungan PPh Pasal 21 untuk peserta program pensiun yang masih berstatus pegawai yang menarik dana pensiun.

Perluasan tersebut dari sebelumnya hanya Dapen saja, kini juga berlaku untuk lingkup BPJSTK, ASABRI, dan Taspen.

3. Pengurangan Zakat/Sumbangan Keagamaan
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dan dibayar melalui pemberi kerja bisa dikurangi dalam penghitungan penghasilan bruto PPh Pasal 21.

4. Menambah Pengecualian Penghasilan Yang Dipotong
DTP kini menjadi pengecualian atas penghasilan yang dipotong.

5. Menggabungkan seluruh penghasilan
tetap dalam 1 bulan kini digabung.

6. Pemotongan PPh 21 atas Natura/Kenikmatan
dilakukan pemotongan PPh 21 atas natura dan/atau kenikmatan bagi wajib pajak orang pribadi.

Pengertian dan ruang lingkup Judicial Review
Judicial Review atau Hak Uji Materiil (disingkat HUM) pada prinsipnya adalah suatu hak atau kewenangan yang dimiliki lembaga yudikatif untuk melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi (Fajrul Fallaakh:1993)

Hak uji materiil di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

1. Hak uji materiil atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (Vide: UUD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 24 C ayat I Jo. UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayai I huruf a);

2. Hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah atau di bawah undang-undang (seperti: Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah, dll) terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang menjadi wewenang MA (Vide: UUD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 24 ayat I Jo. UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 1 Tahun 1993 sebagaimana telah diubah PERMA No. 1 tahun 1999, terakhir PERMA 1 tahun 2024);

Menurut PERMA No I Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan hak uji materiil adalah “Hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”

Subyek dan obyek
permohonan hak uji materiil,
menurut PERMA No 1. Tahun 2004, disebutkan tentang Siapa-siapa yang dapat menjadi pemohon dan termohon hak uji materiil, yaitu:

1. Pemohon keberatan hak uji materiil adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada MA atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari undang-undang (Pasal 1 ayat 4).

Mengenai kriteria atau syarat-syarat pemohon ternyata tidak ditentukan lebih lanjut, misalnya apakah pemohon dari kelompok masyarakat harus berbadan hukum (seperti hanya legal standing) atau tidak perlu berbadan hukum, serta tidak ditentukan apakah pemohon harus mempunyai kepentingan yang dirugikan atau tidak dengan obyek sengketa yang dimohon.

2. Termohon adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan peraturan perundangan (Pasal 1 ayat 5), seperti Presiden untuk Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah, Kepala Daerah dan DPRD untuk Perda, dll.
Sedangkan yang menjadi obyek permohonan Hak Uji Materiil adalah peraturan perundang-undangan, yakni kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah undang-undang (Pasal 1 dan 2).

Dimaksud mengikat umum adalah bukan bersifat individual, karena peraturan (keputusan) yang bersifat individual ini bukan merupakan kompetensi hak uji materil oleh MA, melainkan termasuk kompetensi Peradilan TUN.

Alasan permohonan hak uji materiil
alasan yang dapat digunakan untuk permohonan Hak Uji Materiil ada dua macam, yaitu :

1. Materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang dimohonkan hak uji materiil dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi;

2. Pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, seperti asas-asas perundang-undangan yang dimuat dalam UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

PROSEDUR PENGUJIAN PERMOHONAN HAK UJI MATERIIL
Permohonan hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah atau di bawah undang-undang dapat diajukan dengan membuat permohonan tertulis yang menyebutkan alasan-alasan sebagai dasar keberatan dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, serta membayar biaya permohonan yang besarnya sudah ditentukan dalam peraturan tersendiri. Tenggang waktu pengajuan permohonan adalah 180 hari (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Putusan hak uji materiil dan pelaksanaannya :

1. Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, yaitu karena peraturan perundang-undangan yang dimohonkan hak uji materiil tersebut bertentangan dengan UU atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka permohonan HUM tersebut dapat dikabulkan dengan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan hak uji materiil tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya;

2. Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan hak uji materiil tidak beralasan, maka permohonan itu ditolak;

3. Pemberitahuan isi putusan beserta salinan putusan MA dikirimkan dengan surat tercatat kepada para pihak, atau dalam hal permohonan diajukan melalui PN/PTUN, maka penyerahan/pengiriman salinan putusan melalui PN/PTUN yang bersangkutan;

4. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan diucapkan Panitera MA mencantumkan petikan putusan dalam berita negara dan dipublikasikan atas biaya negara;

5. Dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan MA dikirim kepada Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak dilaksanakan, maka peraturan perundang-undangan yang bersangkutan demi hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;

6. Terhadap putusan hak uji materill, tidak dapat diajukan peninjauan kembali (PK).

PENUTUP
Latar belakang diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2023 ini bertujuan untuk mempermudah wajib pajak dalam menghitung dan melakukan administrasi pemotongan PPh Pasal 21 agar proses bisnis lebih efektif, efisien dan akuntabel.

Namun penerapan skema perhitungan tarif efektif bulan ini khususnya bagi karyawan yang mendapatkan THR dari tempat bekerja banyak yang potongan PPh 21-nya lebih tinggi, pemotongan PPh atas gaji dan THR itu dilakukan penyesuaian lewat mekanisme baru yakni TER (tarif efektif ratio).

PPh Pasal 21/26 sejatinya adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur. Penghasilan berupa seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan penghasilan sejenisnya.

Kemudian bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur, dan lain sebagainya,
sehingga wajar jumlah PPh pasal 21 yang dipotong pada bulan diterimanya THR akan lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan bersangkutan dikali tarif sesuai tabel TER.

Menurut penulis, kebijakan baru ini jelas akan membebani masyarakat jika komponen bonus atau THR dijadikan sasaran objek pajak.

Dampaknya, jadi lebih besar pajak yang harus dibayarkan dibandingkan metode semula meski di akhir tahun akan ada penyesuaian.

Sebaiknya THR tidak dimasukan sebagai objek pajak yang dikenakan pajak. Terlebih THR bukan pendapatan seperti halnya gaji.

Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, masyarakat dapat mengajukan permohonan keberatan atas Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 stas penghasilan sehubungan pekerjaan, jasa, atau kegiatan WP orang pribadi melalui mekanisme Judicial Review MA dengan kewenangan hak uji materil.

Hak uji materil adalah hak atau kewenangan yang dimiliki lembaga yudikatif untuk melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi.

MA hanya berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Wewenang hak uji materiil oleh MA hanya sebatas pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tersebut didasarkan kepada pemikiran bahwa undang-undang sebagai konstruksi yuridis yang maksimal untuk mencerminkan kekuasaan yang tertinggi pada rakyat, sebaiknya diuji/diganti/diubah oleh yang berwenang membuatnya.

Referensi:
Database Peraturan JDIH BPK. “Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2023”.

Database Peraturan JDIH BPK. “Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 dan UU HPP No. 7/2021”.

Kementerian Keuangan. “Peraturan Menteri Keuangan No. 168/PMK.03/2023”.

Mohamad Fajrul Fallaakh, S.H.,M.A. Mahkamah Agung dan Judicial Review dalam cita Bernegara, Varia Peradilan No.95 tahun 1993.

Mahkamah Agung RI. Himpunan Putusan Hak Uji Materiil Mahkamah Agung RI.

UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

PERMA No. 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil. (∆)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *