0 8 min 1 week

“Dalam 30 tahun terakhir, kami merasakan dominasi filosofi pasar bebas kapitalis klasik neoliberal, yang pada dasarnya cenderung “laissez-faire” (pasar tanpa intervensi negara), di mana elite Indonesia mengikuti filosofi ini tapi tidak berhasil mengantarkan Indonesia ke kondisi kemakmuran maksimal,” demikian Presiden Prabowo sampaikan dalam pidatonya di mimbar St Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025, Rusia.

Ini tesis usang tetapi cukup menarik. Mengapa? Sebab, saat presiden bertesis hal hebat di atas, ia mengangkat agensi-agensi penyembah berhala neoliberal di kabinetnya. Tentu ini “a contradiction in action” yang lucu bin wagu; mengenaskan bin memilukan.

Bagi kami para ekonom bermazhab strukturalis, tesis ini sudah disuarakan berulang-ulang sejak 1974 saat dominasi utang luar negeri makin dominan. Tentu, tesis itu kalah dan dilibas elite pemerintah karena sebagian besar dari mereka adalah “hit man” dan agen dari mazhab neoliberal yang beriman penuh totalitas pada pasar ultraliberal.

Apa yang terjadi saat cara berpikir dan bersikap ekonomi strukturalis dilibas? Adalah keadaan warganegara dalam sembilan posisi yaitu: ketidakberdaulatan, kebodohan, kemiskinan, kesenjangan, kesakitan, konflik, ketidaksalingpercayaan, kepengangguran dan keterjajahan baru (9K).

Induk dari semua keadaan itu adalah ketidakberdaulatan. Tak berdaulat artinya tak mandiri; tak kokoh berdiri sendiri, tak punya ‘sovereignty’ yang oleh Grotius didefinisikan sebagai “that power whose acts are not subject to control of another, so that they may be made void by act of any other human will” (Encyclopedia of Social Sciences, 52).

Ketidakberdaulatan negara kita merujuk pada hilang atau berkurangnya kemampuan negara untuk membuat keputusan politik, ekonomi dan sosial secara mandiri, serta tidak memiliki kontrol penuh atas wilayah dan sumber daya manusia dan alam (SDM dan SDA). Jelasnya, ipoleksosbudhankam kita rapuh dan rentan. Akhirnya disusupi dan diganti oleh para penjajah baru lewat agensi asing, aseng dan asong.

Ketidakberdaulatan ini sangat terlihat di sektor politik, ekonomi, teritorial, hukum, energi dan pangan. Dan, makin tidak berdaya karena kebanyakan elite kita adalah mata-mata yang menjadi petugas dari jaringan global serta kaki tangan mazhab ultra neoliberal yang menyembah pasar bebas.

Secara epistemologis, hal paling telanjang dari posisi ketidakberdaulatan ini terjadi dalam iptek. Hal ini mengacu pada kondisi negara kita yang tidak memiliki kendali penuh atas riset, pengembangan, penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Semua disebabkan oleh matinya nalar, pemujaan mitos, ketergantungan pada negara lain dalam hal teknologi, kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas, serta lemahnya regulasi dan infrastruktur pendukung.

Kita tahu bahwa tujuan utama iptek adalah meningkatkan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat. Iptek dikembangkan untuk mempermudah berbagai aspek kehidupan, seperti komunikasi, pekerjaan, akses informasi, serta membantu meningkatkan produktivitas dan daya kolaboratif di berbagai sektor serta menjaga kelestarian lingkungan serta mendorong terciptanya inovasi baru.

Tak ada peradaban besar tanpa iptek. Ia kunci, ia ontologi. Siapa menguasai dan mengembangkannya akan jaya, raya dan berwibawa di jagat raya. Begitupula sebaliknya: siapa menganaktirikan iptek, akan hinalah nasibnya. Dus, tak ada pilihan lain untuk menggapai kedaulatan, ipteklah kunci utamanya.

Dalam kedaulatan iptek ada inovasi. Ini adalah proses meriset, menciptakan, memperkenalkan, mentradisikan dan menerapkan sesuatu yang baru, baik berupa produk, layanan, proses, atau ide, yang memberikan nilai tambah atau perbaikan. Tentu, inovasi tidak selalu bermakna penemuan baru, tetapi juga berupa pengembangan atau perbaikan dari hal yang sudah ada. Lahirlah teori ATM: amati, tiru dan modifikasi.

Singkatnya, inovasi adalah kunci iptek untuk berdaulat, berkemajuan, bermodern dan bermartabat dalam bernegara. Inovasi menjadi ultima bagi perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan, mendorong kita untuk terus berpikir kreatif dan mencari cara-cara baru untuk meningkatkan kualitas hidup dan bersemesta.

Tetapi, jika merujuk pada problema kita yang ada maka, inovasi pendidikan menjadi tugas maha penting. Sebab dari sanalah agensi patriotik kita diproduksi. Inovasi pendidikan di sini dimaksudkan untuk menerapkan ide-ide brilian, konsep-konsep terjenius, metoda-metoda tercanggih dan teknologi terbarukan dalam dunia ini untuk meningkatkan kualitas, kolaboratifitas dan relevansi proses pembelajaran kemanusiaan.

Dengan begitu, inovasi ini bertujuan untuk mengatasi semua masalah yang dihadapi dalam sistem berperadaban, serta menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, termasuk mengerti jahatnya penjajahan baru dan cara mengalahkannya.(*)
[8:28 PM, 6/25/2025] OKI Reval Julianda: KONSTITUSI PALSU: JALAN MENUJU PERBUDAKAN
Yudhie Haryono
Presidium Forum Negarawan

Proklamasi adalah pintu dan jalan kemerdekaan. Pancasila dan UUD45 asli adalah landasan, cita-cita sekaligus tujuannya. Tetapi, semua punya tekad yang sama dan sangat kuat: menghapuskan penjahahan dan perbudakan (di Indonesia dan dunia).

Setelah berjalan 50an tahun, rumah besar Indonesia yang mengharu birukan dunia, semuanya diporak porandakan elite global lewat agenda dwi-tunggal: kudeta pemerintahan dan kudeta konstitusi. Pergantian rezim pemerintahan dan penggantian konstitusi sukses berjalan. Tetapi, konsolidasi rezim baru tak serta merta menghasilkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi seperti yang diharapkan.

Dalam proses konsolidasi rezim baru bermahzab pasar bebas ini, kita mengalami limbo yang dahsyat. Yang lama sekarat, yang baru tak kunjung kuat. Tetuko: sing teko gak tuku dan sing tuku gak teko. Lalu, kita mengidap penyakit bawaan limbo: hiperrealitas. Ini adalah kondisi di mana “yang palsu” (simulasi dan representasi) dianggap lebih riil dari realitas. Ia dianggap lebih nyata dan lebih penting daripada realitas itu sendiri.

Lalu, perbedaan antara kenyataan dan kepalsuan menjadi kabur. Akhirnya, yang palsu dianggap sebagai realitas dan lebih nyata serta lebih dapat dipercaya daripada keadaan sesungguhnya. Contohnya dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti di media. Berita palsu, propaganda dan manipulasi informasi sering menciptakan realitas yang berbeda dari kenyataan.

Di tekhnologi. Peristiwa “virtual reality” dapat menciptakan pengalaman yang lebih nyata daripada realitas itu sendiri. Di konsumsi. Iklan dan branding dapat menciptakan citra yang lebih menarik dan lebih nyata daripada produk konsumsi yang asli. Di sosialitas. Kemiskinan dan perbudakan dianggap tidak ada karena diganti bahasanya menjadi individu kurang beruntung.

Tentu saja, dalam suasana hiperrealitas kita mendapati dampak buruk yang signifikan pada masyarakat, misalnya: “distrust society.” Kita merasakan ketidakpercayaan pada institusi, lembaga, kelompok dan individu bahkan negara. Kita juga mengalami ketergantungan secara berlebih pada teknologi sehingga mengurangi kemampuan sosialitas.

Dalam kekacauan dan ketidakstabilan keadaan serta hiperrealitas ini, rezim baru memang berhasil menghancurkan pilar ekonomi (Kemenkeu-BI-Bappenas), pilar moral (Kemenag) dan pilar etik (Kemendikbud) dengan membuat mereka sibuk KKN. Di tangan kelima lembaga itu lahirlah komunitas epistemik yang berfilosofi, “mari akur dalam kemunafikan agar miskin di tengah negeri kaya; tersesat di tempat terang, menipu dalam benderang; ngutang di waktu berkelimpahan; bersembunyi di tengah keramaian; tersenyum saat rakyat menderita serta menangis saat rakyat bahagia.”

Sekali lagi, itu semua merupakan dampak buruk dari kudeta pemerintahan dan konstitusi. Dua kudeta ini berhasil mengubah dasar negara, identitas negara dan tujuan bernegara; mengganti sistem bernegara yang telah ditetapkan; menghilangkan pokok pikiran pembukaan konstitusi yang merupakan landasan filosofis dan statsfundamental norm; mentradisikan KKN.

Diterapkannya konstitusi palsu membuat kita tercerabut dari filosofi bernegara dan membiarkan pasar bebas merajalela. Dalam pasar bebas yang merajalela ini, hilirnya adalah “berkecambahnya perbudakan modern.” Berubahlah konsep “the wealth of nations menjadi the wealth of individuals.” Yang kaya makin jaya, yang miskin makin paria. Ujungnya ketimpangan, menggunungnya utang negara dan multi krisis merajalela.

Tentu saja, tiga hal itu mempertegas perbudakan modern, ketidakberdaulatan dan kegelapan masa depan. Ketiganya menjengkelkan sebagai fiksi, sekaligus menjijikkan sebagai fakta. Terlebih, kondisi ini berjalan lewat kekuasaan dan kontrol. Kita tahu bahwa perbudakan modern menjadi cara penjajah untuk menunjukkan kekuasaan dan kontrol atas orang lain, negara lain, bangsa lain dan kelompok lain. Perbudakan ini berdampak signifikan pada kehidupan kita semua.

Di tingkat masyarakat terjadi kerusakan sosial, keterbelakangan ekonomi, kehancuran budaya, kehilangan jatidiri dan pelenyapan HAM serta deindustrialisasi. Atau bagaimana menurut kalian? Ayok berbagi pengetahuan dan sikap.(*)

Yudhie Haryono
CEO Nusantara Centre

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *